Jumat, 12 April 2013

Jangan Kau Duakan Cintamu

“Braaaaaaaaak” Bantingan marah itu tak bisa meredamkan kekesalanku. Bahkan, membuat aku makin meraung. Setelah dua jam menangis, rasanya kesal itu belum terobati. Sudah sekian kali mama membanting pintu kamarku dengan penuh amarah. Kekesalanku kali ini hanya karena seorang papa. “Nda, udah berapa kali mama bilang diem. Kalo diem ya diem ! jangan bikin mama marah ya !”. Suara mama keras dari luar kamar. “Mama tuh gak tau! Dinda tuh kesel maaaaa..”. Kujawab meski tersedu. “Dinda.. yang sabar ya sayang..”. Mama, melembut dan mendekat. “Mama tuh gak ngerasain jadi Dinda ma. DInda yang diejek temen-temen.” “Kamu yang tenang Dinda.. Kamu udah punya ayah..” “Walaupun gitu, temen-temen tuh bilang papa dinda tukang kawin.” Ini untuk kedua kalinya aku mendengar papa menikah lagi setelah bercerai dari mama sepuluh tahun yang lalu. Mungkin, aku masih beruntung punya kasih sayang dari seorang ayah, ayah tiriku. Aku akui, ayah memang sayang, cuma aku masih butuh papa. Pernikahan mama dengan ayah membuat kebahagianku kembali utuh. Ditambah aku punya seorang adik laki-laki yang lucu. Sedang papa dengan istri keduanya punya tiga orang putri. Akupun tak tahu persis muka ketiga adik seayahku. Papa pun aku tak tahu, hanya foto yang aku tahu tentang papa. Entah, papa juga tak damai dengan istri keduanya. Terkadang, aku letih menjalani hidupku. Hidup yang rasanya kurang berpihak padaku, tak adil atasku. Menakdirkan, aku terpisah dari papa. Menjelang sore, ayah pulang. Aku sudah mulai reda. Seakan tak terjadi apa-apa antara aku dan mama. Aku tak mau membahasnya, aku takut ayah juga pergi. “Mbak, matanya bengkak?” sapa ayah dimeja makan malam itu. “Habis nangis yah.” Jawabku pelan, mama menoleh. Mungkin mama mengira aku akan menceritakan semuanya. “Kok nangis?” “Habis debat sama ayu, yah.” Aku memang sering melibatkan Ayu, sahabat kecilku. Walaupun, ia tak tahu apapun. “Yah” aku menyambung. “Iya, nak ?” “Habis SMP ini, DInda mau sekoalh ke pesantren ya?”. Aku sudah berdiskusi dengan mama atas hal ini tadi, dan mama setuju. “pesantren mana?” “pesantren yang di Palembang, boleh ya?” “gak kejauhan, nak?” “Dinda pingin disana, yah. Boleh kan?”. Dua bulan setelah kejadian itu aku benar belajar di salah satu pesantren di Palembang. Disini, aku jauh lebih baik. Selain tak ada orang yang tahu tentang kisahku, kecuali kakak kelas yang baik bagiku, bersedia mendengarkan keluh kesah hidupku. Disini aku lebih mendalami tentang agamaku. Aku betah disini. Rasanya, tak mau pulang kerumah lagi, aku tenang disini. Sekarang, aku cuma berharap papa berhenti dari permainan cintanya. “It’s hope to come our sister Dinda Fahrani to waiting room right now.” Suara dari bagian penerangan di pesantrenku. Aku heran mendengranya, mama baru kemarin lusa menjengukku. Deg, dada menggebu. Jantung berdetak cepat sekali. Sekian kali ku pejamkan mataku lalu kubuka, memastikan. Apa yang di ruang tunggu itu memang papa ?. Hatiku jejingkrakan. “Pa..”. Sapaku masih ragu. “Eh, bidadari papa udah gede, gimana ? betah disini nak ?”. Papa, baru kali ini aku melihatnya dengan mataku. Setelah sepuluh tahun lebih. Dia terlihat lebih tua, dan lebih ramah. “Hehe, iya pa..” Kucoba mengimbangi keakrabannya. Mengobol hanya sekian menit, papa langsung pergi. Hanya meninggalkan kartu nama. Rasanya, ingin saat itu aku memeluk papa. Tapi, kelu sekali saat aku menatapnya. Papa tak bercerita banyak, hanya tentang aku, pelajaranku, dan hidupku. Obrolan singkat, yang akan ku kenang selama aku masih mampu mengingatnya. “Din, Idul Adha pulang ketempak mbak yuk.” Ajak Mbak Ratih, seminggu sebelum Idul Adha. “Berapa hari sih ? mending, Dinda pulang kerumah aja.” “Cuma tiga hari, dek. Tanggung kalo Dinda mau pulang.” “Mbak tau alamat ini gak ?” spontan aku mengeluarkan kartu nama di sakuku, setelah berfikir agak lama. “Tau, kenapa dek ?” “Jauh gak?” “Deket kok, paling 25 menit, itu alamat siapa?” “Pa..” Kurasa, tak perlu kusambung lagi, mbak ratih pasti sudah paham. Setelah mendengar sekian keluh kesah pahit hidupku. Bening embun pagi ini, sejukkan jiwa-jiwa yang gerah. Kumandang takbir menggema ditelingaku. Hati ini jatuh bangun. Mbak ratih akan mengajakku ke rumah papa hari ini, sehadis sholat ied. Aku sengaja tak member tahu mama tentang liburan ini. Dan, nasib baikpun berpihak padaku, mama punya urusan bisnis dirumah. Ternyata benar, hanya satu kali naik angkutan desa, sudah Nampak rumah megah dengan pohon rindang di mataku. “Pak, ada yang nyari.” Seru seorang gadis kecil, setelah mbak Ratih mengucapkan salam. Inikah adikku ? Senyum sumringah menyambut kehadiranku. Mbak Ratih hanya tersenyum. Spontan, aku langsung memeluk papa dengan penuh cinta. Aku menatapnya dalam. Kristal bening tumpah dengan sendirinya dari mataku. Namun, tatapanku berhenti di lekukan bawah hidung mancungnya. Darah ! hatiku berdecak. Ada apa dengan papa kebanggaanku. Senyum yang tak pernah pudar itu, kutatap penuh peluh. Sakitkah ? Tiga hari kuhabiskan waktu disana. Mbak ratih ulang ketika hari kedua. Tak cukup waktuku bersamanya, ingin lagi dan lagi. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Sampai aku menyelesaikan sekolahku, dan aku diterima disalah satu universitas ternama di Jawa. Sebelum berangkat, aku ingin mengunjungi rumah itu untuk kedua kalinya. Langkahku terhenti, rumah itu Nampak sangat berbeda. Lebih kusam, bersemak, dan tak terurus. Lain sekali, saat dua tahun lalu aku mengunjunginya. Pintu besar mahal ini tak terkunci. Apa masih ada kehidupan di rumah gersang seperti ini ? Aku terus menyusuri sudut-sudut rumah ini. Dan benhenti di ruang kecil, tempat aku bermalam dulu. Ada desahan nafas disini. Jatung hampr berhenti berdetak beberapa detik. Papa tergoleh lesu. Sudah berapa lama dia sendiri ?. Kulihat dia menggigil dengan baju lusuh mendekap sebuah bingkai foto. Disana, wajahku ketika aku tertidur dua tahun lalu. Kuraih Handphone dari tasku. “Yu, aku batal!” Kubatalkan keberangkatanku ke Jawa hari ini. Keputusanku sudah built, aku ingin tetap disini bersama papa. Sudah kukirim pesan untuk mama lewat Ayu. Aku akan terus disini bersama papa tercinta. “Pa, Dinda sayang papa , jangan duakan cinta papa buat orang lain ya ?” Bujukku sembari tersenyum. Dan senyum indah masih terukir dibibir manisnya. The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar